Puter Kayun merupakan tradisi masyarakat using yang
melaksanakan keliling kota sampai ke pantai Watudodol pada lebaran
Ketupat sebagai ungkapan syukur kepada Tuhan atas keselamatan dan
kesejahteraan, rejeki yang diterima.
Dokar dapat dikatakan hampir punah di kota-kota besar
seperti Surabaya, Denpasar dan kota besar lainnya. Tapi di Banyuwangi
atau tempat khusus seperti di Kelurahan Boyolangu dan Pakis, dokar masih
merupakan alat transportasi yang penting dan menarik.
Dokar ditarik oleh seekor kuda dengan ornamen hias
dan bunyi yang khas, dengan dua roda, pengemudinya”kusir” didepan
penumpang lainnya. Wisatawan bisa berkeliling kota dengan naik dokar,
dan ini merupakan suatu perjalanan yang pasti tidak dapat terlupakan.
SEJARAH
Puter Kayun dilaksanakan sebagai ungkapan rasa syukur kepada Tuhan yang
Mahaesa. Selain itu, juga untuk mengenang jasa Buyut Jaksa dan menepati
janji Buyut Jaksa saat membuka jalan di kawasan Watudodol.
Konon, dimasa penjajahan Belanda, daratan Watu Dodol akan dijadikan
jalan raya oleh Belanda. Ditepi pantai berdiri batu berukuran raksasa.
Segala upaya dilakukan Belanda untuk menghancurkan batu tersebut.
Termasuk memberlakukan kerja rodi bagi warga pribumi yang pada akhirnya
banyak yang mati. Hingga akhirnya Bupati pertama Banyuwangi (1773-1781),
Raden Mas Alit, membuat sayembara.
Syarat itu diantaranya, batu boleh dipecah asal tidak melewati batas-batas yang ditentukan. Kedua menyisakan batu untuk dijadikan tempat tinggal raja Jin. Ketiga, keturunan Buyut Jokso sesekali diminta mengunjungi Watu Dodol.
Di Watu Dodol sendiri, kini masih berdiri batu besar yang membelah jalan raya yang menghubungkan Banyuwangi-Situbondo. Pemandangan pantainya pun menarik banyak wisatawan lokal maupun mancanegara untuk mengunjunginya.